Perlontean Politik: Kisah Persaudaraan Romantis Dari Aceh Di Balik Pilkada 2012

"Saya siap jadi tim sukses Partai Aceh."

Demikian kata Mayjen Soenarko, mantan Pangdam Iskandar Muda. Ucapan gagah berani itu menjadi berita di Aceh. Salah satu berita itu bisa dijenguk di sebuah halaman The Atjeh Post.

Ini bukan berita yang terlalu mengejutkan. Meski dalam sejarah konflik di Aceh elit GAM dan elit TNI dulu adalah seteru, namun dalam dunia politik mereka bisa bersatu. Politik memang memiliki sifat seperti dunia perlontean: Selama bisa nikmat bersama baik secara seksual atau keuangan, kaki bisa dikangkangkan untuk menerima siapa saja, kapan saja dan dimana saja.
Haha. Kami memang bersaudara.
Mungkin prinsip ini yang dianut oleh elit Partai Aceh dan Mayjen Soenarko, walau mungkin pula dalam gaya bahasa yang berbeda. Biasalah. Politik selalu bicara dengan bahasa yang manis dan retoris, yang sebenarnya tak lain tak bukan hakikatnya adalah alasan. Alasan serupa: Ini demi rakyat. Ini demi merajut perdamaian. Ini demi kepentingan bangsa di masa depan. Ini demi.... (silakan tambahkan sendiri kalimat yang seolah-olah membuat segala "demi" itu adalah kepentingan umum).

Bahkan, lebih dari segala dalih "ini demi...", terkadang mesti ditambahkan bumbu manis dan romantis. Contoh dari bumbu manis itu bisa dilihat dalam berita ini:
Ketika kisruh politik terjadi di Aceh, Soenarko juga mengikuti perkembangannya setiap hari. Dan mereka tetap menjalin hubungan dan saling bertelepon. Itulah sebabnya setelah mendaftar untuk ikut dalam Pilkada Aceh, Muzakir Manaf yang mantan Panglima GAM ini bilang, "untuk membantu kami tentu saja saya akan menghubungi beberapa saudara saya di Jakarta."
Rupanya yang dimaksud saudara itu, salah satunya tak lain adalah Soenarko. Menurut salah seorang teman dekat Soenarko, ketika mendapat telepon dari Muzakir Manaf, Soenarko sangat terharu. "Saya akan pulang ke Aceh, dan akan membantu pemenangan,"kata Soenarko menjawab telepon Muzakir Manaf yang akrab disapa Mualem itu. Soenarko bilang dia ke Aceh juga untuk menjalin hubungan agar perdamaian terus ada di Aceh.
Nah... Indah sekali persaudaraan, bukan? Beberapa saudara di Jakarta, katanya...

Kemarin ada sejumlah rekan, baik rekan di internet atau di luar internet, dan pastinya berada jauh di luar Aceh (baik secara geografis mau pun politik), bertanya soal penembakan di Aceh yang mengakibatkan sejumlah pekerja dari Jawa jatuh menjadi korban. Saat itu, dengan posisi berada di Bogor, aku tak banyak menjawab pertanyaan tersebut. Tidak juga mengajukan banyak argumen, selain berbagi beberapa status dan tautan di Facebook dan Twitter, meski aku mengendus ada permainan yang terpola, dan membuat dejavu dengan pengalaman akan pola serupa saat pilkada Aceh digelar kali pertama di tahun 2006, serta pemilu di tahun 2009. Cuma beberapa rekan saja yang aku membagi kecurigaan dan prediksiku, akan adanya "sesuatu" di balik kasus kisruh jelang Pilkada kemarin itu. Tentang adanya orang-orang di pusat yang terlibat. Tentang zigzagnya gerakan para penembak yang sekilas nampak memilih korban secara acak, tapi begitu mobile dan profesional. Aku berbagi soal ini cuma secara personal, mulai dari rekan blogger lama, rekan di milis lama, rekan yang menjadi anchor di salah satu TV berita swasta, sampai kenalan di luar ranah internet di Bogor sana, dalam obrolan di sebuah warkop stasiun kereta api Bogor. Atas pertanyaan yang tiba secara umum, seperti pertanyaan rekan di Twitter soal penebangan tower listrik, apa yang bisa kujanjikan untuk kuusahakan, adalah mencari tahu jika sudah pulang ke daerahku di Aceh. Sebab, tanpa perkembangan situasi dan kondisi lebih lanjut, bisa jadi prediksi dan kecurigaanku cuma akan jadi opini tanpa dasar sama sekali. Sebaik-baik beropini tentu dengan melibatkan sejumlah fakta yang patut dicurigai.

Dan beginilah jadinya tulisanku ini:

Aku mulai memanas membaca opini-opini dari luar, dan ragam hujatan terhadap Aceh secara keseluruhan, sejak Menkopolhukam dengan enteng menyebut bahwa penembakan di Aceh, dengan target pekerja Jawa, dipicu oleh kecemburuan sosial. Tak pelak, ucapan yang menyeret pada isu SARA ini menjadi perang komentar di berbagai media, baik antara fanatikus Aceh maupun fanatikus Jawa. Yang Jawa menganjing-anjingkan Aceh, dan yang Aceh membabi-babikan Jawa. Umumnya ini komentator-komentator yang tersebar di ranah internet, adalah jenis netter yang gampang tersulut dengan isu kesukuan. Sebentuk ego kesukuan tersendiri, sebuah penyakit sosial di dalam satu negara yang mengaku berpancasila. Meski masih baik ada kelompok yang cukup waras untuk menahan diri dalam membaca situasi, seperti kelompok Pujakesuma dan Aceh Sepakat di Medan, tidak seperti artikel di Indonesia Media yang justru memanas-manasi dengan menggunakan isu penebangan tower PLN. Sebuah hal lucu jika mengingat bahwa di Aceh sendiri, di Saree, Aceh Besar, meski ada ego suku untuk bangga dengan identitas kesukuan, namun dua suku ini tidak ribut-ribut soal begini.

Saat itu aku berkata pada beberapa rekan netter, bahwa aku tidak yakin dengan ucapan Menkopolhukam. Salah satunya kepada Sawung. Dan itu jauh sebelum kasus Aceh mencuat jadi pembahasan di salah satu acara di TV One, dimana Fachrul Razi yang dulu kukenal saat beliau bercokol di Interpeace, muncul beradu argumen sebagai Jubir PA. Argumenku sederhana jika bukan malah menguliti ego suku bangsa Aceh dalam darahku sendiri: Orang Aceh itu gengsian, tinggi hati, meski bisa ramah bukan kepalang sampai-sampai orang asing/orang luar Aceh bisa keluar-masuk dapur jika sudah berkenan di hatinya*.

Soal pekerjaan, menjadi kuli dan buruh, meski halal, bagi orang Aceh tidak selalu mau jadi pilihan. Kami (ya, termasuk aku sendiri) semiskin apapun, sombong nian untuk lebih memilih jadi pemalas yang menghabiskan waktu di warung kopi dan membual soal proyek-proyek besar (proyek "cet langet" atau mengecat langit, demikian istilah Aceh untuk mengejek perangai jelek ini), sehingga di Aceh warung kopi itu seakan sudah jadi mesjid nomor dua (atau mungkin malah nomor satu). Betapa tidak? Di sana berbagai pekerja dan bahkan pengangguran bisa duduk berjam-jam cuma untuk bicara soal politik atau membual betapa kemarin itu hampir jadi orang kaya kalau saja tembus empat angka togel dicoloknya pasca bermimpi nangkap ikan kepala tiga. Meski kemiskinan ada di Aceh, orang Aceh lebih senang masuk hutan, berladang atau bersawah. Bisa sawah ladang sendiri, bisa pula berbagi hasil dengan saudara atau tetangga. Semalas-malasnya pengangguran di Aceh, akan lebih memilih berladang ganja daripada jadi kuli macam pekerja dari Jawa. Meski tidak semua begitu, namun ini fenomena sosial yang aku merasa tak perlu malu untuk mengakui dan menertawakan (konon menertawakan diri adalah cara menjaga kewarasan).

Singkatnya: kecemburuan sosial macam apa pada kuli dari Jawa yang kerjanya masuk selokan dan gorong-gorong untuk memasang pipa? Dan lagi, petani macam apa yang tiba-tiba memiliki dan menguasai senjata api, dan laksana Rambo diturunkan ke Vietnam, bisa begitu profesional dan mobile melakukan penembakan seakan secara random tapi tepat dimana koordinat. Secemburu-cemburu pun, belum ada itu orang Aceh membacok orang Jawa seperti gejala Aceh moorden di masa Belanda**, karena dianggap merebut pekerjaan mereka, sejak era transmigrasi dicanangkan oleh Soeharto sukses mengirimkan ratusan orang Jawa ke berbagai pelosok di Aceh. Kebanyakan bentrok antara Jawa dan Aceh di masa lalu, sering cuma masalah personal, entah berselingkuh dengan bini tetangga atau melakukan tabrak-lari pada ternak piaraan salah satu dari mereka. Di kabupaten asal daerahku sendiri, orang Jawa gampang ditemui membaur juga. Mungkin salah satu faktornya karena lebih dekat ke perbatasan Sumatra Utara sehingga lebih terbuka soal perbedaan suku bangsa ini.

Tapi bukankah sentimen anti-Jawa ada di Aceh?

Ada. Sentimen demikian ada di Aceh. Bukan cuma di Aceh malah, bahkan jika kita googling kita bisa menemukan sentimen yang sama di Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua. Namun sepanjang kutahu, sentimen ini meski berbau SARA, lebih mewujud pada kebencian akan arogansi elit-elit pemerintahan di pusat yang selalu mengistimewakan Jawa, baik secara suku bangsa (misal dengan bikin Hari Batik Nasional yang tak bisa tidak berunsurkan Jawasentris itu) maupun secara pemerataan pembangunan yang bersebab Ibukota berada di Jawa. Sementara untuk daerah lain aku mungkin kurang faham apa benar begitu adanya sentimen tersebut, namun demikianlah alasan maka di Aceh dulu GAM menggunakan istilah Indonesia-Jawa. Salah satu faktornya memang transmigrasi, program yang digodok Soeharto dengan bantuan sejumlah lembaga asing seperti World Bank, yang berlangsung sejak akhir 1970-an sampai tahun 1990-an. Dan, seperti di berbagai daerah, pasca jatuhnya Soeharto, berpotensi menjadi konflik etnis di pulau-pulau di luar Jawa. Dalam masa konflik di Aceh pun ada juga orang Jawa menjadi korban. Diperkirakan 50 ribu orang terusir, dan sayangnya, diantara mereka itu justru ada yang sudah beranak-pinak jauh sebelum Soeharto naik pangkat jadi Pangkostrad.

Sentimen dan kasus di masa konflik terhadap Jawa ini sendiri, bukan melulu monopoli GAM. Dalam artikel di Aceh Feature, kisah seorang Panglima GAM wilayah Linge bernama Fauzan Azima (komandan tempur yang membawahi empat panglima sagoe dalam 32 mukim),  serta kisah di balik sentimen anti-Jawa ini, boleh jadi rujukan tersendiri. Seperti beberapa pasukan GAM di pesisir Barat Selatan Aceh, dalam kelompok GAM Fauzan Azima ini, keberadaan orang Jawa tak diusik, malah ada juga orang Jawa yang bergabung dengan GAM. Dalam perkembangan politik kemudian, orang Jawa juga terlibat dalam Partai Aceh, bahkan di pemilu tahun 2009, caleg-caleg bersuku Jawa, juga ramai pula naik dari partai bentukan GAM itu.

Tapi itu kan politik?

Begitulah. Sentimen tak sentimen, perkara SARA itu memang sering berjalin-paut dengan urusan politik. Kasus penembakan terhadap orang Jawa di Aceh kemarin itu juga tak lepas dari urusan politik. Sementara ada opini bahwa ini menggiring konflik antar suku, atau cuma tindakan kriminal biasa (sebuah tindakan kriminal bodoh karena tak ada untung apa-apa bagi si pelaku/perancang aksi), ada pula pandanganku sendiri soal ini sebagai orang yang penting tak penting tapi lahir, tinggal dan besar di Aceh. Saksi sejarah dalam skala kecil.

Menggiring konflik antar suku, sangat boleh jadi. Motif dari penggiringan ini bisa banyak macam. Saat membaca kasus penembakan itu, aku teringat dengan pengusiran transmigrasi di zaman konflik dahulu.

Begini...

Di kabupaten sebelah kabupatenku, ada kabupaten bernama Nagan Raya (yang merupakan kabupaten pemekaran dari kabupaten Aceh Barat). Kabupaten ini merupakan salah satu kabupaten dengan jumlah transmigran cukup besar di Aceh. Di masa awal konflik, sejak meletusnya GAM, hingga dekade 1990-an, transmigran di sini nyaris tak terusik. Kecuali adanya perampokan kecil-kecilan (seperti biasa bisa dilihat dalam berita-berita kriminal ala Pos Kota) dan seingatku di zaman itu disebut sebagai tindakan dari GPK atau GPL Hasan Tiro. Sebuah klaim yang agak janggal saat itu, sebab jika dibagi pemetaan wilayah konflik di Aceh pada tahun 1980-an dan 1990-an, zona Tengah dan Barat Selatan Aceh (dimana kabupatenku berada) tidak termasuk daerah merah dalam Operasi Jaring Merah. Jika tak putih ya abu-abu. Tuduhan tersebut bisa benar, bisa tidak. Saat itu, bantahan dari GAM jarang terdengar. Media tak ada yang berani untuk masuk hutan dan menyodorkan mikropon rekaman untuk bertanya pada petempur GAM, "Bung, kata ABRI, ente ngerampok transmigran. Apa komentar ente?" lalu mempublikasikannya. Bisa-bisa orang media itu yang kena "sekolahkan" dan medianya di-"Tempo"-kan dengan alasan subversif. Namun, bisa dimaklumi jika ada pendapat bahwa, dengan dana operasi bisa memperkaya perwira ABRI, usaha untuk melebar-lebarkan konflik dengan mengaitkan perampokan truk sapi pun bisa menguntungkan. Konflik adalah proyek tersendiri. Bisnis militer, kalau kata pengamat kebijakan militer.

Tapi, bahkan dengan mengait-ngaitkan tuduhan ke GAM saat itu, kehidupan para transmigran relatif aman. Daerah tersebut, yang saat  itu masih berada di bawah Aceh Barat, juga aman. Serdadu ABRI bisa hilir mudik pakai kutang, tanpa pakai bedil. Dan polisi belum tampak sangar sebagaimana di tahun 2000-an, sehingga masih bisa berkelahi dengan sipil cuma karena masalah sepele seperti kalah judi.

Namun, di tahun 2000-an, kondisi damai di sana berbalik. Pasca pencabutan status DOM dan penarikan mundur tentara non-organik oleh Wiranto di tahun 1998, suhu Aceh memanas. Meski ada orang GAM juga terlibat dalam pengusiran terhadap para transmigran, namun tak pelak ada juga kejanggalan. Dalam pengusiran terhadap warga transmigran di Nagan Raya itu, misalnya, aku melihat dan mendengar berbagai cerita aneh.

Kawasan transmigrasi di sana itu disebut "kebun". Maka biasanya mereka disebut "awak keubon (orang kebun)". Ini merujuk pada kenyataan bahwa transmigran di sana tinggal dalam areal perkebunan milik P.T. Socfindo. Dan perusahaan ini dalam berbisnis sama macam provitnas (proyek vital nasional), dengan keamanan -entah macam mana prosedurnya- "dilindungi" oleh aparat hankam. ABRI dan Polisi. Ketika konflik mencuat di awal tahun 2000-an, supremasi sedang berada di tangan polisi dengan berbagai operasi, mulai dari Operasi Sadar Wibawa untuk menunjukkan "wibawa" aparat, Operasi Sadar Rencong 1 dan sekuelnya Sadar Rencong 2, serta Operasi Cinta Meunasah. Di masa ini, pos-pos BKO yang didatangkan ke Aceh, menjadi pemandangan biasa di kompleks perusahaan perkebunan itu. Warga sipil yang bukan warga transmigran atau bukan pekerja di sana, jangankan masuk, lewat saja bisa dipelototi. Paling apes disuruh berhenti, ditanya darimana-mau-kemana dan kenapa rupanya membunyikan klakson. Ini cerita umum. Pos-pos BKO saat itu persis macam kumpulan tukang nge-bully. Orang lewat membunyikan klakson sebagai tanda memberi salam, salah, kalau tak dibunyikan, seperti cari masalah. Seperti pasal karet, dimana pasal 1 "BKO tak pernah salah", dan pasal 2 "Jika BKO salah kembali ke pasal 1".

Dalam ketatnya penjagaan demikian, tiba-tiba saja, entah sesakti apa GAM (yang dituduhkan jadi pelakunya) saat itu: bisa enak keluar masuk perkebunan dengan menenteng senjata seperti orang menenteng rantang nasi untuk pergi kenduri. Para pelaku yang disebut GAM ini, dengan rambut cepak dan (kata beberapa transmigran Jawa yang mungkin berdusta karena cinta mati sama GAM :P) berbahasa Indonesia tak ada medok-medoknya Aceh dan bermuka sama seperti mereka yang neneknya berasal dari Jawa. Jika bukan dari sana, ya dari Sumatra Utara dengan dialek Indonesia-Batak. Pokoknya mereka begitu sakti: tiba-tiba saja para penjaga perkebunan ini, yang jelas bukannya hansip, hilang. Entah ketiduran, entah sedang boker, sehingga tak mendengar dar-der-dor pengusiran, atau jeritan warga transmigran yang kena usir.

Permainan? Wallahu'alam. Namun tentu saja kondisi begini adalah alasan bagus untuk menambah pasukan. Apalagi untuk menaikkan status. Jadilah Aceh, dengan ditambahi dalih lainnya, naik status menjadi Darurat Militer. Pos keamanan bertambah. Dulu cuma pos-pos Brimob dan Gegana. Namun bertambah pos milik ABRI di kemudiannya. Beragam pasukan, beragam batalyon. Ada dari Kostrad, ada dari Parako Kopassus. Umpama saat itu melakukan perjalanan dari Tapak Tuan ke Banda Aceh, yang berjarak sekitar 9 jam, sebuah bus angkutan bisa tiba di Banda Aceh setelah 11-12 jam. Kenapa? Karena mesti berhenti melewati selusin lebih pos-pos aparat untuk kena sweeping. Dulu cuma ada polisi, lalu bertambah ABRI.

Bisnis militer? Kongkalingkong konflik? Silakan nilai sendiri. Kata salah satu ulasan, ini perangkap SARA. Dan aku mengaminkan itu.

Nah, kasus penembakan di Aceh kemarin itu modusnya mirip-mirip dengan masa konflik. Sebagai misal, salah satu lokasi penembakan adalah barak pekerja di PT Satya Agung, di Krueng Jawa, Uram Jalan, Geureudong Pase, Aceh Utara, pada 4 Desember 2011 silam.  Ini PT cukup besar dan juga memiliki sekuriti. Tapi begitu mudah pelaku masuk dan menghamburkan anak bedil, adalah sebuah pertanyaan tersendiri, karena selama ini pengamanannya cukup dijaga dengan lokasi kebetulan(?) dekat dengan Polsek Geureudong Pasee, Syamtalira Bayu, dan polsek Simpang Keuramat. Dimana dan kemana semua aparat di situ? Tidur atau sedang boker?

Ini pun mirip-mirip juga dengan masa pemilu tahun 2009. Perbedaan saat pemilu 2009, korban yang "dizalimi" adalah GAM sendiri. Laporan soal granat dilempar ke rumah pengurus PA, mobil dibakar, rumah PA diberondong, menghias media berita, dan terjadi begitu rapi, tak terdeteksi. Untuk melengkapi kisah "penderitaan" itu, partai lokal lain pun -mungkin agar tak mencolok- juga dibagi-bagi rezeki "kena berondong" atau minimal dirusak balihonya. Seperti artikelku dulu, contohnya. Namun tentu paling mayoritas kena "zalimi" itu Partai Aceh. Efeknya? Simpati. Dan lebih dari itu, malah ada seruan-seruan di dalam masyarakat untuk memilih PA (dan juga PD), selain karena kasihan dizalimi, dan memang merupakan partai lokal terbesar, bentukan mantan GAM, alasan lainnya agar stabil perdamaian kelak.
*Kami dizalimi... | Saya prihatin...TM*
 Lho? Lho? Kok bawa-bawa PD, Bung?

Lho? Anda belum pernah membaca/mendengar artikel di dalam buku Gurita Cikeas? Artikel begini ini:
Ada lagi pelanggaran pasal dalam UU No. 10/2008, yang telah menghasilkan banyak suara pemilih buat Partai Demokrat, malah kemenangan yang hampir mutlak di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dalam Pemilu lalu mantan kombatan yang beralih menjadi anggota Partai Aceh (PA) bebas "menuntun" pemilih yang tua dan butahuruf mencontreng caleg dan logo PA dan Demokrat, terutama di bekas basis GAM, tanpa dihalangi aparat keamanan. Makanya, di sebuah kecamatan di Kabupaten Pidie, Demokrat mendapatkan 100% suara untuk DPR-RI dan PA 100% suara untuk DPRA dan DPRK. Hasilnya, perolehan suara teratas di Aceh direbut oleh PA, disusul oleh Demokrat, Golkar, dan PKS. Sedangkan partai lokal lain, hanya memperoleh beberapa kursi di DPRA dan DPRK-DPRK.
Makanya, perlu dipertanyakan, apakah "bantuan" yang diberikan oleh para kader PA untuk menuntun para pemilih yang tua dan buta huruf, untuk secara khusus mencontreng logo dua partai saja, satu untuk duduk di DPR‐RI dan satunya lagi untuk duduk di DPR Aceh dan DPR Kabupaten, tidak bertentangan dengan Pasal 156 UU No. 10/2008, ayat 1 dan 2 yang berbunyi sebagai berikut: Ayat (1): Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan pemilih. Ayat 2: Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan pemilih.
Tapi saya tidak percaya dengan buku itu. Itu kan akal-akalannya George saja, sentimen pada Demokrat dan SBY.

Ya. Aku pun tidak begitu peduli dengan isi buku itu secara keseluruhan. Tidak juga menelan mentah-mentah. Namun, untuk soal kemenangan di Aceh itu, selaku saksi mata dan bahkan dalam skala kampung terlibat dalam dunia politik Aceh, hingga masuk partai lokal juga, aku berani bilang bahwa demikianlah benarnya kasus tersebut. Jauh sebelum Si George menulis buku Gurita Cikeas-nya, aku sudah sempat curiga dan menulis di politikana soal kemenangan Demokrat ini di tahun 2009 silam. Meski tak ada bukti cukup saat itu di tanganku sendiri. Ini bukan kecurigaanku sendiri. Seorang blogger yang juga merupakan jurnalis di Aceh, menuliskan juga begini di blognya:
Dari kemenangan tersebut terbaca, PA dan Demokrat berjalan beriringan, seperti sudah ada ‘komando' yang mengaturnya. Sebut saja, posisi Sofyan Dawood, sebagai koordinator pemenangan SBY di Aceh dan beberapa provinsi di Sumatera, dan pada kampanye terakhir PA bertindak sebagai Juru Kampanye. Selain itu, kepemimpinan Kodam di Aceh yang dipimpin mantan Danjen Kopassus, seperti membenarkan, bahwa ada ‘komando' yang mengatur kemenangan PA dan Demokrat, karena Danjen Kopassus sekarang adalah famili sang Presiden.
Jadi segala rusuh, konflik, kecaman aparat militer terhadap Partai Aceh di tahun itu, macam artikelmu sendiri di tahun itu, apa? Karanganmu?

Itu kenyataan di lapangan. Bahwa kemudian menjadi seperti drama saja, memang butuh waktu beberapa lama pasca pemilu 2009 untuk membaca kembali kondisi. Sebab demikian memang membaca politik. Politik adalah polesan semantik dan polemik dalam drama yang dimainkan dengan cantik. Jika kemudian terbukti bahwa ada "sinergi" antara Partai Aceh dan Partai Demokrat, maka begitulah politiknya saat itu. Bahkan, kalau menurutku sendiri, juga saat ini.

Karena hal yang sama menjadi kecurigaanku kala melihat kisruh mengenai pilkada kali ini. Lihat saja bagaimana Mendagri pun sampai ikut-ikutan turun berpolemik dan menggugat KPU ke MK soal Pilkada Aceh. Ini soal yang aneh dan lucu juga. Lucu ketika Partai Aceh kemudian membawa alasan MoU sebagai dalih menolak keputusan MK soal calon independen dalam Pilkada Aceh, sementara keinginan untuk judicial review akan pasal soal calon independen itu sendiri sudah muncul jauh sebelum keretakan di dalam tubuh mereka terjadi (menyusul ngototnya Irwandi, gubernur Aceh saat ini, untuk naik kembali melalui jalur independen). Bahkan karena alasan ini, sampai pernah meludahkan ucapan akan memboikot pilkada di Aceh, di bulan Oktober tahun lalu. Kata Sang Mualim Muzakir Manaf:

"Perhatian utama kami adalah penyelamatan UUPA sebagai wujud perjuangan rakyat Aceh selama 35 tahun," kata Muzakkir.
Perkara bahwa Muzakir Manaf begitu perhatian sehingga terlambat menyelamatkan (jika mengingat judicial review sudah diajukan jauh sebelum tahapan pilkada dimulai)*** itu urusan lain. Namun demikianlah dalih dari Partai Aceh saat itu. Karena, jika menyebut bahwa "penyelamatan yang terlambat" itu bersebab adanya gesekan dengan kelompok Irwandi, sebagaimana pernah terjadi dalam pilkada 2006 nan silam, akan mempermalukan diri sendiri. Gesekan sejak tahun 2006 ini bisa disebut gesekan "pola pikir kaum tua" dan "kaum muda" dalam kalangan (mantan) GAM.

Lucu pula ketika seorang bawahan presiden, seorang menteri, lalu ikut-ikutan bicara bahkan akan menggugat KPU ke MK, sehingga di mataku™ kentara kemana angin sang Mendagri berhembus dan berpihak.

Kebijakan berubah, dan keputusan MK tiba. Pilkada di Aceh, terutama pemilihan calon gubernur, dengan tetap mengizinkan naiknya calon independen, kemungkinan akan bergeser sampai paling telat 9 April 2012. Apa maknanya? Ya bermakna bahwa Partai Aceh memiliki peluang untuk menjilat ludah sendiri dengan mendaftarkan kandidat mereka dalam pilkada gubernur kali ini. Demokrat? Meski dalam pilkada Aceh kali ini mengusung pasangan Nazar (Wagub incumbent) dan Nova (kader Demokrat), yang -kalau kutengok- tak sepopuler pasangan Irwandi dan pasangan Muzakir Manaf, partainya Anas Urbaningrum ini seperti "bermain aman" dalam konflik regulasi di Aceh selama ini. Cenderung diam dan seperti pura-pura dalam perahu. Atau malah pura-pura plinplan. Satu sisi mendesak kepastian pilkada Aceh, namun di sisi lain menolak Perpu penunda pilkada. Tak konsisten, seperti "saudara segandengan" di pemilu 2009 lalu. Namun tentu tak ada yang menuntut mereka konsisten, tak seperti MK yang dituntut konsisten karena plinplan dalam tekanan politik lokal dan politik nasional begini.

Lalu, apa maksud semua ini?

Politik. Mulai dari penembakan pekerja Jawa, kemelut pilkada, penghembusan isu "kecemburuan sosial" yang prematur dari Menkopolkam (konon untuk menutupi realiti di lapangan), turun tangannya Mendagri, sampai kemudian TIBA-TIBA mantan Pangdam masuk dalam tim sukses Partai Aceh, semua adalah politik belaka. Bahasa bisa dibikin seperti apa saja. Jika dulu salah satu mantan Panglima GAM Wilayah Pasee bisa menjadi Tim Sukses SBY dalam Pilpres 2009, maka siapa bisa protes politik balas budi diterapkan dengan mendiamkan kasus penembakan di Aceh yang tak tuntas diusut Polri, dan lalu hadir mantan Pangdam menjadi Tim Sukses Partai Aceh dalam Pilkada? Ada apa antara Partai Aceh dan mantan Pangdam, adalah sebuah pertanyaan yang muncul di sebuah media lokal. Fraksi mayoritas di DPRA, Fraksi PA, bisa berkata bahwa kehadiran mantan Pangdam itu adalah wujud nyata rekonsiliasi. Sang mantan Pangdam pun tak mau kalah romantis, beliau pun membawa-bawa sebuah persaudaraan yang manis sebagai dalih tersendiri.
*Nanti tolong bilang kalau kita bersaudara. Okeh? Bilang demi perdamaian di masa depan. Okeh, Beibeh?*


Pada akhirnya, demikianlah celoteh politikku soal kondisi di Aceh yang sempat tertahankan selama ini, cuma jadi draft dalam tulisan. Ini semua soal politik. Tak ada lawan abadi, dan tak ada musuh abadi. Perlontean dalam politik adalah perangai yang sudah macam biasa di republik ini, dari skala nasional sampai skala lokal.
Terus bagaimana?
Ya lihat saja perkembangan nanti. Cerita tentang ini belum usai. :)


Catatan kaki:
* seorang tamu asing, orang luar, bisa masuk ke dapur, di Aceh merupakan pertanda bahwa dia diterima di rumah macam dianggap orang rumah sendiri.
** Aceh Moorden, adalah sebutan yang berasal dari istilah Belanda: Moorden. Istilah ini dalam bahasa Aceh dikenal dengan sebutan "Aceh Pungo" atau artinya "Aceh Gila"; yaitu sebuah gejala madness behavior yang membuat seorang Aceh yang justru tidak gila secara medis, tiba-tiba bisa nekad untuk melakukan sebuah aksi sendirian. Istilah ini dipopulerkan oleh R.A. Kern, salah seorang penulis berkebangsaan Belanda. Menurutnya, karakter Aceh yang rela dan bangga untuk mati dalam membunuh para serdadu Belanda sebagai sebuah kegilaan (madness), disebabkan sering menjumpai orang Aceh, meski cuma pakai rencong dan sendirian, dan besar resiko akan mati konyol, nekad menusuk serdadu kompeni Belanda dimanapun dan kapanpun. 
*** Yang lebih aneh dari kasus ini adalah alasan Partai Aceh menolak amandemen UUPA dengan alasan UUPA adalah marwah orang Aceh, sebuah harga mati. Sebab, pihak GAM sendiri sebagai induk yang melahirkan Partai Aceh, sejak awal sudah memprotes isi UUPA yang banyak bertentangan dengan MoU Helsinki melalui surat Malik Mahmud tertanggal 12 Juni 2007 (merujuk surat sebelumnya tertanggal 21 Agustus 2006) yang ditujukan kepada Presiden RI, tembusan kepada kepada CMI, AMM, EU, dan Irwandi Yusuf selaku Gubernur Aceh. Ini dalih ngawur dari elit Partai Aceh saja. Silakan baca tautan soal ini untuk lebih jelasnya, yang justru membantah dalih dari Partai Aceh, baik alasan dari partai atau dari fraksi mereka di DPRA/DPRK.
Catatan Tambahan: artikel ini tidak dijamin objektif. Subjektifitas sangat mungkin ada. Jangan ditelan mentah-mentah. Silakan analisa sendiri menurut anda. Ini cuma opini yang lahir dari sudut pandang seorang mantan mahasiswa yang pernah terjun dalam salah satu partai politik lokal di Aceh.


PS: Tulisan ini pertama diterbitkan di Politikana., tujuan diterbitkan di sini agar bisa dibaca oleh teman-teman yang tak bisa masuk ke situs Politikana, selain sebagai arsip. Fitur komentar ditutup. Terimakasih.